23 May 2007

NABI MUHAMMAD SAW. (bagian 2)



Kegelisahan itu bertambah besar pada saat wahyu yang beliau
nanti-nantikan tidak kunjung datang, hingga menurut beberapa
riwayat beliau sedemikian gelisah, sampai-sampai konon beliau
hampir saja mencelakakan dirinya. Rupanya Allah Swt. bermaksud
menjadikan beliau lebih merindukan lagi "sang kekasih dan
firman-firman-Nya" agar semakin mantap cinta beliau
kepada-Nya.


Surat Adh-Dhuha menyatakan sekelumit hal itu, sekaligus
sekilas kedudukan beliau di sisi Allah. Surat ini turun
berkenaan dengan kegelisahan Nabi Muhammad Saw. karena
ketidakhadiran Malaikat Jibril membawa wahyu setelah sekian
kali sebelumnya datang.

"Demi adh-dhuha, dan malam ketika hening. Tuhanmu tidak
meninggalkan kamu dan tidak pula membenci-(mu dan siapa pun).

Mengapa adh-dhuha -yakni "matahari ketika naik
sepenggalah"-yang dipilih berkaitan dengan wahyu-wahyu yang
diterima oleh Nabi Saw., atau apakah adh-dhuha ada kaitannya
dengan ketidakhadiran wahyu-wahyu Ilahi?

Ketika matahari naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi
seluruh penjuru. Cahayanya tidak terlalu terik, sehingga tidak
menyebabkan gangguan sedikit pun, bahkan panasnya memberikan
kesegaran, kenyamanan, dan kesehatan.

Di sini Allah Swt. melambangkan kehadiran wahyu selama ini
sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya demikian
jelas, menyegarkan, dan menyenangkan. Sedangkan ketidakhadiran
wahyu dinyatakan dengan kalimat, "Demi malam ketika hening."

Dari kedua hal yang bertolak belakang itu, Allah menafikan
dugaan atau tanggapan yang menyatakan bahwa Muhammad Saw.
telah ditinggalkan oleh Tuhannya, atau bahkan Tuhan telah
membencinya. Kehadiran malam tidak menjadikan seseorang boleh
berkata bahwa matahari tidak akan terbit lagi, karena
kenyataan sehari-hari membuktikan kekeliruan ucapan seperti
itu. Nah, ketidakhadiran wahyu beberapa saat tidak dapat
dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa wahyu tidak akan hadir
lagi atau Muhammad telah ditinggalkan oleh Tuhannya.

Ketidakhadiran antara lain menjadi isyarat kepada Nabi
Muhammad Saw. untuk beristirahat, karena "malam" dijadikan
Tuhan sebagai waktu "beristirahat."

Dapat juga dikatakan bahwa ketidakhadiran wahyu justru pada
saat Nabi Muhammad menanti-nantikannya, membuktikan bahwa
wahyu adalah wewenang Tuhan sendiri. Walaupun keinginan Nabi
Saw. meluap-luap menantikan kehadirannya, namun jika Tuhan
tidak menghendaki, wahyu tidak akan datang. Ini membuktikan
bahwa wahyu bukan merupakan hasil renungan atau bisikan jiwa.

Kenabian Muhammad Saw. bukan merupakan hal yang baru bagi umat
manusia. Nabi Muhammad secara tegas diperintahkan untuk
menyatakan hal itu,

"Katakanlah, 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara
rasul-rasul. Aku tidak mengetahui yang diperbuat terhadapku,
tidak juga terhadapmu. Aku tidak lain hanya mengikuti yang
diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain seorang pemberi
peringatan yang menjelaskan.'" (QS Al-Ahqaf [46]: 9)

Namun demikian' kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian
utusan Tuhan yang lain. Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul
diutus untuk masyarakat dan waktu tertentu, tetapi Nabi
Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap waktu dan
tempat,

"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua'" (QS
Al-A'raf [7]: 158)

Ada sementara orientalis yang menduga bahwa pada mulanya Nabi
Muhammad Saw. hanya bermaksud mengajarkan agamanya kepada
orang-orang Arab, tetapi setelah beliau berhasil di Madinah,
beliau memperluas dakwahnya untuk seluruh manusia.

Pendapat ini sungguh keliru, karena sejak di Makkah beliau
telah menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh manusia.

"Katakanlah (hai Muhammad), 'Wahai seluruh manusia!
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kamu semua.'" (QS
Al-A'raf [7]: 158).

Ayat ini turun ketika Nabi Saw. sedang berada di Makkah,
bahkan menurut sementara ulama, semua ayat Al-Quran yang
dimulai dengan panggilan "Wahai seluruh manusia," semuanya
turun di Makkah kecuali beberapa ayat.

Perbedaan yang lain adalah para nabi sebelum beliau selalu
mengaitkan kenabian dengan hal-hal yang bersifat
suprarasional, baik berbentuk sihir, pengetahuan gaib,
mimpi-mimpi, dan lain-lain.

Isa a.s. misalnya bersabda,

"Sesungguhnya Aku telah datang kepadamu dengan membawa bukti
(mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat burung untuk kamu
dari tanah, kemudian aku meniupnya sehingga ia menjadi burung
dengan seizin Allah, dan aku menyembuhkan orang yang buta
sejak lahir, dan orang yang berpenyakit sopak (lepra), dan aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah, dan aku kabarkan
kepadamu yang kamu makan dan yang kamu simpan di rumahmu.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah suatu tanda (mukjizat
tentang kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu
sungguh-sungguh beriman." (QS Ali 'Imran [3]: 49)

Dalam Perjanjian Baru, Isa a.s. juga menyatakan, "Jangan
percaya padaku, jika aku tidak mengerjakan pekerjaan Bapak
..."

Demikian halnya Isa a.s. dan para nabi sebelumnya. Oleh karena
itu, ketika masyarakat Arab Quraisy meminta bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, Nabi Muhammad Saw. diperintahkan untuk
menyampaikan kalimat-kalimat berikut:

"Katakanlah, 'Sesungguhnya bukti-bukti itu bersumber dari
Allah, sedang aku hanya pembawa peringatan yang menjelaskan.'"
(QS Al-'Ankabut [29]: 50)

Dr. Nazme Luke, seorang pendeta Mesir, berkomentar bahwa
menghidupkan orang mati, mengembalikan penglihatan orang buta,
dan lain-lain adalah hal-hal yang sangat mengagumkan, tetapi
tidak berarti apa-apa jika digunakan untuk membuktikan bahwa
2+2 = 5.

Masyarakat pada masa Isa a.s. membutuhkan bukti-bukti yang
bersifat suprarasional, karena mereka belum mencapai tingkat
kedewasan yang memadai. Hal ini, tulisnya, sama dengan
membujuk anak kecil untuk makan, padahal jika telah dewasa, ia
akan makan tanpa dibujuk.

Memang Nabi Muhammad Saw. tidak mengandalkan hal-hal yang
bersifat suprarasional sebagai bukti kebenaran ajarannya.

Bukti kebenaran kenabian dan kerasulannya adalah Al-Quran dan
diri beliau sendiri yang ummi (tidak pandai membaca dan
menulis). Para pakar bersepakat dengan menggunakan berbagai
tolok ukur untuk mengakui beliau sebagai manusia teragung yang
pernah dikenal oleh sejarah kemanusiaan

Demikianlah kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes,
Hero, Worship and the Heros in History dengan menggunakan
tolok ukur kepahlawanan. Demikian pula Will Durant dalam The
Story of Civilization in the World dengan tolok ukur hasil
karya, Marcus Dodds dalam Muhammad, Buddha, and Christ, dengan
tolok ukur keberanian moral, Nazme Luke dalam Muhammad
Al-Rasul wa Al-Risalah dengan tolok ukur metode pembuktian
ajaran, serta Michael Hart dalam bukunya tentang seratus tokoh
dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah, dengan tolok ukur
pengaruh serta sederetan pakar lainnya.

"Mustahil bagi siapa pun yang mempelajari kehidupan dan
karakter Muhammad (Saw.), hanya mempunyai perasaan hormat saja
terhadap Nabi mulia itu. Ia akan melampauinya sehingga
meyakini bahwa beliau adalah salah seorang Nabi terbesar dari
sang Pencipta," demikian Annie Besant menulis dalam The Life
and Teachings of Muhammad.

Dalam konteks ini Al-Quran surat Alam Nasyrah ayat 4
menyatakan,

"Sesungguhnya Kami pasti akan meninggikan namamu."

Dalam ayat lain dinyatakan:

"Wahai seluruh manusia, telah datang kepada kamu bukti yang
sangat jelas dan Tuhanmu (yakni Muhammad Saw.), dan Kami telah
(pula) menurunkan cahaya yang terang benderang (Al-Quran)" (QS
Al-Nisa' [4]: 174).

Akhlak dan Fungsi Kenabian Muhammad Saw.

Al-Quran mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad Saw.
memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan
bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah
keluhuran budi pekertinya. Hal ini dipahami dari wahyu ketiga
yang antara lain menyatakan bahwa:

"Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang
agung" (QS Al-Qalam [68]: 4).

Kata "di atas" tentu mempunyai makna yang sangat dalam,
melebihi kata lain, misalnya, pada tahap/dalam keadaan akhlak
mulia

Seperti dikemukakan di atas, Al-Quran surat Al-An'am ayat 90
menyebutkan dalam rangkaian ayat-ayatnya 18 nama Nabi/Rasul.
Setelah kedelapan belas nama disebut, Allah berpesan kepada
Nabi Muhammad Saw.,

"Mereka itulah yang telah memperoleh petunjuk dari Allah, maka
hendaknya kamu meneladani petunjuk yang mereka peroleh."

Ulama-ulama tafsir menyatakan bahwa Nabi Saw. pasti
memperhatikan benar pesan ini. Hal itu terbukti antara lain,
ketika salah seorang pengikutnya mengecam kebijaksanaan beliau
saat membagi harta rampasan perang, beliau menahan amarahnya
dan menyabarkan diri dengan berkata,

"Semoga Allah merahmati Musa a s. Dia telah diganggu melebihi
gangguan yang kualami ini, dan dia bersabar (maka aku lebih
wajar bersabar daripada Musa a s.)."

Karena itu pula sebagian ulama tafsir menyimpulkan, bahwa
pastilah Nabi Muhammad Saw. telah meneladani sifat-sifat
terpuji para nabi sebelum beliau

Nabi Nuh a.s. dikenal sebagai seorang yang gigih dan tabah
dalam berdakwah. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai seorang
yang amat pemurah, serta amat tekun bermujahadah mendekatkan
diri kepada Allah. Nabi Daud a.s. dikenal sebagai nabi yang
amat menonjolkan rasa syukur serta penghargaannya terhadap
nikmat Allah. Nabi Zakaria a.s., Yahya a.s., dan Isa a.s.,
adalah nabi-nabi yang berupaya menghindari kenikmatan dunia
demi mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Nabi Yusuf a.s. terkenal gagah, dan amat bersyukur dalam
nikmat dan bersabar menahan cobaan. Nabi Yunus a. s. diketahui
sebagai nabi yang amat khusyuk ketika berdoa, Nabi Musa
terbukti sebagai nabi yang berani dan memiliki ketegasan, Nabi
Harun a.s. sebaliknya, adalah nabi yang penuh dengan
kelemahlembutan. Demikian seterusnya, dan Nabi Muhammad Saw.
meneladani semua keistimewaan mereka itu.

Ada beberapa sifat Nabi Muhammad Saw. yang ditekankan oleh
Al-Quran, antara lain,

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu
sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu (umat manusia),
serta sangat menginginkan kebaikan untuk kamu semua, lagi amat
tinggi belas kasihannya serta penyayang terhadap orang-orang
mukmin" (QS Al-Tawbah [9]: 128).

Begitu besar perhatiannya kepada umat manusia, sehingga
hampir-hampir saja ia mencelakakan diri demi mengajak mereka
beriman (baca QS Syu'ara [26]: 3). Begitu luas rahmat dan
kasih sayang yang dibawanya, sehingga menyentuh manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk-makhluk tak bernyawa.

Sebelum Eropa memperkenalkan Organisasi Pencinta Binatang,
Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan,

"Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap
binatang-binatang, kendarailah dan makanlah dengan baik."

"Seorang wanita terjerumus ke dalam neraka karena seekor
kucing yang dikurungnya."

"Seorang wanita yang bergelimang dosa diampuni Tuhan karena
memberi minum seekor anjing yang kehausan."

Rahmat dan kasih sayang yang dicurahkannya sampai pula pada
benda-benda tak bernyawa. Susu, gelas, cermin, tikar, perisai,
pedang, dan sebagainya, semuanya beliau beri nama, seakan-akan
benda-benda tak bernyawa itu mempunyai kepribadian yang
membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih sayang, dan
persahabatan.

Diakui bahwa Muhammad Saw. diperintahkan Allah untuk
menegaskan bahwa,

"Aku tidak lain kecuali manusia seperti kamu, (tetapi aku)
diberi wahyu ..." (QS Al-Kahf [18]: 110).
(bersambung 3/3)


--------------------------------------------------------------------------------WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan
Jln. Yodkali No.16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net




No comments:

<< Kembali ke atas