10 October 2007

Tren Pembaharuan Pemikiran dalam Islam

Tren Pembaharuan Pemikiran dalam Islam
Oleh: : Ibnu Djarir


KEMUNCULAN gerakan pembaharuan pemikiran dalam pemahaman ajaran agama adalah
hal yang wajar dan logis, karena budaya manusia selalu berkembang. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi juga sangat berpengaruh pada pola pikir
manusia, termasuk dalam memahami teks-teks agama. Namun, satu prinsip yang
perlu selalu dipegang adalah bahwa pembaharuan itu hendaknya tidak
menghilangkan inti dari ajaran agama itu sendiri. Bila inti ajaran agama itu
hilang, maka namanya bukan lagi pembaharuan, tetapi perusakan atau
penggantian dengan hasil pikiran manusia sendiri tanpa mengindahkan inti
ajaran agama yang pada dasarnya berasal dari wahyu Tuhan.

Menelusuri alur pembaharuan pemikiran dalam Islam, bisa dimulai dengan
menyimak pembaharuan pemikiran pada tahap pramodernis. Pelopornya adalah
Muhammad ibn Abdul Wahab. Dia berpendapat, pada masa itu di kalangan umat
Islam sudah banyak terjadi penyimpangan dalam pemahaman dan pengamalan
ajaran Islam. Oleh karena itu, dia menyerukan kepada umat Islam untuk
kembali pada kemurnian dan keaslian ajaran Islam berdasarkan Alquran dan
Hadis.

Ide-ide pembaharuan Abdul Wahab itu memang menyangkut banyak masalah,
seperti anjuran untuk melaksanakan ijtihad, dan seruan untuk menjauhi
taklid, tahayul, bidah, khurafat, praktik tarikat yang menyimpang, dan
fatalisme. Dia juga menyerukan kepada umat Islam untuk melakukan jihad
melawan kezaliman, kebatilan, dan kemaksiatan.

Menurut Prof Dr Harun Nasution (almarhum), gerakan pembaharuan Abdul Wahab
itu bersikap antibudaya asing, dan cenderung literalis.

Adapun gerakan pembaharuan yang mulai membuka diri terhadap pengaruh budaya
Barat adalah mereka yang digolongkan pada kaum modernis. Tokoh-tokohnya yang
terkemuka adalah Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh,
dan Muhammad Rasyid Ridha. Dari tokoh-tokoh tersebut, Sayyid Ahmad Khan
tampak lebih menekankan pada pemikiran yang rasional dan liberal.

Seperti pendahulunya, mereka juga menyerukan kepada umat Islam untuk kembali
pada kemurnian dan keaslian Islam, melakukan ijtihad, menjauhi taklid dan
fatalisme. Namun mereka menganjurkan umat Islam untuk membuka diri terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang dari dunia Barat, demi
kemajuan umat Islam sendiri. Tetapi mereka mengingatkan umat Islam agar
tidak hanyut dalam budaya asing. Di antara usaha-usahanya ialah mendirikan
sekolah-sekolah Islam modern, dan mengambil langkah-langkah untuk
pembaharuan dalam bidang sosial dan politik.

Gerakan pembaharuan yang muncul berikutnya adalah gerakan kaum neomodernis.
Gerakan ini ingin memadukan antara khazanah Islam klasik dengan modernitas.
Pada tahap ini muncul gerakan-gerakan sosial dan politik yang terorganisasi
secara modern. Meski gerakan ini banyak menimba kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi dari dunia Barat, namun mereka ingin tetap mempertahankan
keotentikan identitas Islam, sehingga mereka berprinsip, modernisasi Islam
tidak identik dengan westernisasi.

Mata Rantai
Menurut Prof Fazlur Rahman (almarhum), guru besar pada McGill University,
Kanada, gerakan pembaharuan pemikiran dalam Islam merupakan mata rantai yang
sambung menyambung.

Gerakan pembaharuan pramodernis menekankan pada pelaksanaan ijtihad,,
reformasi dan purifikasi. Kaum modernis berupaya untuk menafsirkan ajaran
Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan kehidupan modern yang dibentuk
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kaum modernis melakukan ijtihad tidak terbatas pada masalah agama saja,
tetapi diperluas sehingga menyangkut penerapan ajaran Islam dalam kehidupan
sosial, ekonomi dan politik. Kaum modernis ini dapat dibagi dua, yaitu kaum
modernis klasik yang masih menunjukkan sikap hati-hati terhadap budaya
Barat, dan kaum modernis kontemporer yang bersikap akomodatif terhadap
budaya Barat. Sedangkan kaum neomodernis berupaya melakukan rekonstruksi
Islam dengan memadukan khazanah intelektual Islam dengan budaya modern.

Perkembangan taraf pendidikan umat Islam, terutama dengan maraknya
kemunculan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, mendorong makin
banyaknya para pemikir Islam yang berupaya melakukan reinterpretasi terhadap
ajaran Islam dan mereformulasi doktrin-doktrin Islam masa lalu. Mereka
mencoba untuk melakukan ijtihad menurut kapasitasnya masing-masing.

Ada yang melakukan ijtihad secara individual, dan ada pula yang secara
kolektif (jama'i). Di Indonesia, contoh ijtihad jama'i, seperti Majlis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam pada organisasi Muhammadiyah,
Lembaga Syuriyah pada organisasi Nahdlatul Ulama, dan Komisi Fatwa pada
Majelis Ulama Indonesia ( MUI ). Pada masa sekarang ini, dengan banyaknya
para pakar dalam berbagai disiplin ilmu, pelaksanaan ijtihad jama'i
tampaknya lebih meyakinkan kebenarannya, sebab beberapa pakar saling
bertukarpikiran sesuai dengan bidang keahlian masing-masing untuk mengambil
keputusan bersama. Sedangkan terhadap pendapat-pendapat pribadi, atau
ijtihad individual, kita masih harus meneliti profesionalitas dan integritas
pribadi yang bersangkutan.

Di media massa, sering terlontar pendapat-pendapat pribadi mengenai
masalahmasalah keagamaan yang membingungkan atau menggelisahkan masyarakat.
Seperti pendapat yang menyatakan bahwa zakat sama dengan pajak. Jadi, dengan
penerapan melalui pajak, sudah mencakup zakat. Pendapat yang lain, hewan dam
dari orang yang melakukan ibadah haji boleh saja disembelih di kampung
halaman masing-masing. Ada pula yang berpendapat, hewan kurban berkaitan
dengan Idul Adha, boleh diganti dengan ayam, ikan, uang, dan sebagainya,
tanpa ada proses penyembelihan. Pendapat lain menyatakan, ibadah haji tidak
harus pada bulan Dzulhijjah, sebab bulan-bulan haji itu Syawal, Zulqa'dah,
dan Zulhijjah. Dan lain-lain pendapat lagi yang berbeda dengan mainstream
pendapat mayoritas umat Islam.

Pendapat-pendapat pribadi itu adakalanya tidak dilandasi oleh
profesionalitas dalam ilmu keislaman yang memadai, sehingga lebih banyak
mudaratnya daripada manfaatnya bagi kemaslahatan umat Islam

JIL dan JIMM
Pada beberapa tahun terakhir ini muncul dua kelompok pemikir yang menamakan
dirinya Jaringan Islam Liberal ( JIL ) dan Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM ). JIL kebanyakan anggotanya dari warga NU, sedangkan
anggota-anggota JIMM dari kalangan muda Muhammadiyah.

Salah seorang tokoh terkemuka JIL, Ulil Abshar Abdalla, menyatakan bahwa
dalam memahami ajaran Islam perlu menekankan pada pemahaman substansial,
nonliteral, rasional, dan kontekstual. Metode pemahamannya inilah yang
menyebabkan dia dan kawan-kawannya memilih nama kaum liberal. Mereka ingin
berpikir bebas ( liberal ) dan tidak terikat dengan fikih produk ulama
klasik (Kompas, 18/11/2002 ).

Pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh Abdalla memang membuat banyak ulama
berdebar-debar, karena khawatir akan menyesatkan umat. Seperti pendapat
bahwa Nabi Muhammad SAW banyak kekurangannya; jilbab, hukum potong tangan,
dan qisas bukan ajaran Islam, sehingga tidak wajib ditaati; tidak ada hukum
Allah, yang ada adalah sunnatullah; semua agama adalah benar;
penemuan-penemuan ilmiah adalah juga wahyu Tuhan; agama harus dipisahkan
dari politik; dan dia lebih mendukung negara sekuler daripada negara Islam.

Banyak muncul reaksi para ulama terhadap pendapat Abdalla, baik reaksi yang
ringan maupun yang sangat keras. Di antaranya adalah reaksi dari Salahuddin
Wahid yang menyatakan bahwa ide pembaharuan Abdallah itu sudah kebablasan.
Demikian pula dalam Muktamar NU ke-31 ( 28/11 - 2/12/2004 ) di Boyolali,
muncul suara-suara yang mengusulkan agar kepengurusan PB NU dibersihkan dari
unsur-unsur JIL.

Di kalangan angkatan muda Muhammadiyah juga muncul orang-orang yang
mempunyai kecederungan berpikir liberal dan mereka ingin mengatakan
pembaharuan yang lebih maju lagi dalam pemahaman ajaran agama. Mereka
menamakan dirinya Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah ( JIMM ). Padahal
Muhammadiyah sejak berdirinya sudah membawa misi pembaharuan pemikiran Islam
( tajdid ). Untuk melaksanakan misi itu Muhammadiyah membentuk Majelis
Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, yang anggota-anggotanya terdiri
dari para pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Kerja majelis tersebut memang
sering dinilai lamban, namun penuh kehati-hatian, sebab mengambil keputusan
dalam masalah-masalah keagamaan tidak boleh grusa-grusu, melainkan harus
berlandaskan pada paradigma yang kukuh, profesionalitas, telaah yang
mendalam dan komprehensif.

Berbagai kalangan dari pimpinan Muhammadiyah berpendapat, JIMM itu sebaiknya
jangan menggunakan label Muhammadiyah, sebab pembaharuan pemikiran menurut
Muhammadiyah harus melalui ijtihad jama'i (Majelis Tarjih ) dan dikerjakan
oleh tenaga-tenaga yang profesional. Kalau JIMM itu punya ide-ide bar, akan
lebih elegan jika mereka berhadapan langsung dengan Majelis Tarjih untuk
beradu argumentasi. Jangan pendapat-pendapat perseorangan lalu dilontarkana
ke masyarakat dengan membawa embel-embel Muhammadiyah.

Ada seorang tokoh muda liberal yang berpendapat bahwa kurban dalam rangka
Idul Adha tidak harus berupa hewan kurban yang disembelih. Baik-baik saja
diganti dengan uang. Pendapat ini dasar syar'inya mana, sebab dalam Alquran,
Surat Al-Kautsar disebutkan dengan jelas adanya penyembelihan hewan kurban.
Kalau dihubungan dengan kebutuhan zaman modern bisa saja daging itu
diawetkan dalam bentuk kornet, sehingga tahan lama dan mudah didistribusikan
ke berbagai wilayah yang memerlukan.

Bila pendapat yang semata-mata rasional itu diikuti bisa merembet ke banyak
ritual Islam lainnya, seperti dalam pelaksanaan zakat fitrah tidak perlu
repot-repot cari beras, cukup memberi uang atau pemberian materi yang lain,
yang penting menolong kaum fakir miskin. Zakat mal tidak harus dua setengah
persen, yang penting mengikuti perkembangan situasi dan kondisi masyarakat.

Kalau kita hanya berpegang pada pertimbangan rasional dan substansial, tanpa
mengindahkan dalil yang gath'i, maka pada akhirnya tidak perlu lagi kita
membenda-bedakan antara hewan kurban, zakat fitrah, zakat mal, infaq,
sedekah, dan lain-lain, yang penting setiap pribadi muslim yang mampu
hendaknya membantu kaum dhuafa. Nah, jika pola pikir yang demikian itu
diikuti, maka ajaran-ajaran ritual Islam akan sirna. (29)

-Drs H lbnu Djarir, staf pengajar IAIN Walisongo Semarang.




No comments:

<< Kembali ke atas